Melihat Koleksi Lukisan Istana dari Dekat

/

Jadi gini ceritanya…

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 7 Agustus 2016, dalam sebuah perjalanan menyenangkan naik bajaj, saya melihat sepotong iklan di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat.

Nah, di sana kebetulan sekali sedang digelar pameran koleksi lukisan istana yang bertajuk 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan.

Pameran ini diinisiasi oleh Kemsesneg dan Kemendikbud melalui Galeri Nasional, BEKRAF, dan Mandiri Art dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71.

Foto dalam bajaj
Foto dari dalam bajaj yang penting sekali untuk diikutsertakan

Sebagai insan yang cukup apresiatif terhadap seni rupa, tentu ini merupakan sebuah magnet tersendiri bagi saya.

Tanpa pikir panjang dan banyak ba-bi-bu, saya langsung memutuskan untuk berziarah sejenak ke pameran langka tersebut.

Berbekal rasa penasaran dan pengetahuan yang pas-pasan, saya mulai mengantre untuk masuk ke ruang pameran utama.

Rencana saya untuk hanya mampir sejenak pun pada akhirnya berubah menjadi mampir seharian.

Ya, kita semua tahu, memang manusia hanya bisa berencana, namun jika Allah berkehendak lain, kita tidak bisa protes selain menerimanya dengan lapang dada.

Antrean menuju tempat registrasi

Entah karena saya datang di waktu yang kurang tepat atau gimana, pengunjung yang antre saat itu sangat membludak.

Antrean panjang ini rupanya karena pengunjung yang masuk ke ruang utama pameran dibatasi tiap jamnya.

Ini wajar saya kira, mengingat lukisan yang dipamerkan sama sekali bukan benda yang murah.

Setelah berselang kurang lebih dua jam, akhirnya saya mendapat giliran masuk.

kartu masuk pameran
Setelah melalui pertumpahan darah akhirnya dapat juga

Sebelum memasuki ruang pameran, pengunjung diberi arahan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan selama di dalam ruangan.

Di antaranya, dilarang mengenakan jaket, membawa makanan atau minuman, menyentuh lukisan, juga memotret menggunakan flash.

Potret Buk Kartini
Potret Buk Kartini

Begitu memasuki ruang pameran, pengunjung langsung dihadapkan pada lukisan-lukisan bertema pahlawan nasional.

Ada potret Pangeran Diponegoro, potret Pak Dirman, HOS Tjokroaminoto, dan Kartini.

Di ruang selanjutnya dipamerkan lukisan bertema peristiwa-peristiwa, dan ruang selanjutnya lukisan bertema pemandangan dan lain-lain.

Pameran yang dikuratori Mikke Susanto dan Rizki A. Zaelani ini memamerkan 28 buah lukisan dari total 3.000-an lukisan yang ada di Istana Kepresidenan seluruh Indonesia.

Namun, bukan hanya lukisan saja yang dipamerkan, ada juga foto-foto bersejarah dan benda koleksi istana yang lain.

Dari kesemua lukisan yang dipamerkan, saya secara subjektif mengagumi tiga buah lukisan yang membuat saya cukup terpaku memandangnya.

1. Lukisan Rini, Karya Ir. Soekarno

lukisan soekarno rini
‘Rini’, lukisan Pak Karno

Sekilas, lukisan ini tampak biasa saja, hanya potret seorang wanita berkebaya duduk dengan kepala menghadap kanan.

Pada waktu itu, Ir. Soekarno pergi ke Bali. Seperti biasa, pelukis istana pada masa itu, Dullah, turut diajaknya.

Sebagai seorang pelukis, tentu Dullah tugasnya melukis.

Jadi saat menemani Soekarno di Bali, ia mencoba membuat lukisan.

Namun, saat baru membuat garis-garis sketsa yang belum rampung, sketsa tersebut ditinggalkannya ke Jakarta dan tidak dikerjakannya lagi.

Selang beberapa waktu, tepatnya bulan November 1958, Pak Bung kembali lagi ke Bali dan beristirahat di sana selama sepuluh hari. Kali ini Dullah tidak ikut.

Tau-tau sudah sepuluh hari, rupanya blio menyelesaikan lukisan Dullah yang belum rampung itu hingga menjadi seperti yang kita lihat sekarang.

Tentu dengan banyak perubahan dan tambahan dari sketsa awalnya.

Lukisan itu kemudian diberi judul ‘Rini.’

Ini menarik karena selain lukisan ini dilukis sendiri oleh Pak Bung, tidak ada yang tahu pasti siapa sebenarnya sosok Rini yang dilukis blio ini.

2. Lukisan Potret HOS Tjokroaminoto, Karya Affandi

H.O.S Tjokroaminoto karya Affandi
H.O.S Tjokroaminoto karya Affandi

Tak sulit menemukan lukisan ini di antara lukisan-lukisan lain. Pun tak sulit buat kita yang awam sekalipun untuk mengenali siapa pelukisnya.

Dengan gaya ekspresionisme-nya yang begitu khas, Affandi dapat dengan utuh menghidupkan potret sang guru bangsa ini.

Usut punya usut, teknik lukisnya ia buat bukan dengan kuas, melainkan langsung dipletotin dari tube catnya. Selo tenan.

Kecuali bagian wajah, detailnya ia buat pakai kuas.

3. Penangkapan Pangeran Diponegoro

Lukisan mahal
Lukisan mahal

Satu lagi mahakarya yang berhasil menyita waktu saya ialah lukisan berjudul asli Gefangenname Vonz Prinz Diponegoro, karya Raden Saleh.

Lukisan ini seakan mengikat saya untuk terus melongo dengan khusyuk mengagumi tiap detailnya.

Bahkan, ada sebuah sajak pendek yang lahir dari kepala Pak Taufiq Ismail setelah blio melihat langsung lukisan ini pada tahun 1995, kalau tidak salah. Mengagumkan.

Beginilah cara kerja bagaimana sebuah karya seni bisa melahirkan karya seni yang lain.

Fakta menakjubkan lain yang saya temui adalah, selain usia lukisannya sudah sangat tua, ternyata lukisan ini harganya mahal betul.

Di tahun 2014, lukisan ini ditaksir bernilai 100 M. Seratus milyar, sodara-sodara. Itu tahun 2014, nggak tahu kalau sekarang.

Oh iya, lukisan ini dibuat oleh Sang Maestro pada tahun 1857. Yang artinya saat tulisan ini dibuat, usianya sudah 195 tahun. Goks.

Avatar photo

When in doubt, slow down.

Leave a Comment