Berkendara di Atas Awan: Sebuah Catatan Perjalanan

/

Artikel ini adalah bagian dari tugas menceritakan pengalaman pribadi yang diberikan sebagai bahan latihan menulis oleh Pesantren Sintesa.

Belum lama ini, tepatnya tanggal 18 Agustus 2016, saya melakukan perjalanan lintas provinsi dari Purwokerto menuju Magetan.

Sebetulnya jaraknya tidak terlalu jauh, sih. Kalau di Google Maps cuma 326 kilometer-an. Cuma lima jam perjalanan menggunakan kereta api.

Tapi, kali ini kendaraan yang saya gunakan adalah motor Suzuki Smash buatan tahun 2003, yang artinya, perjalanan dekatpun akan terasa jauh, dan perjalanan jauh terasa lebih jauh.

Peta Jawa Tengah Jawa Timur
Rute perjalanan

Awalnya, saya tidak begitu yakin akan benar-benar melakukan perjalanan ini, mengingat kondisi motor yang sudah tua dan sama sekali tidak kurang terawat.

Apalagi, sebelumnya sudah dipakai jalan Jakarta – Purwokerto.

Tapi karena daripada motor saya nggak terpakai di Purwokerto, dan saya juga membutuhkannya untuk wara-wiri di Magetan, akhirnya saya bawa aja.

Mengirim motor lewat jasa pengiriman seperti KA Logistik juga sudah saya pertimbangkan. Tapi hasilnya negatif.

Alasannya selain karena harga pengiriman yang mahal, yaitu sekitar 300-350 ribu, saya juga harus membeli lagi tiket kereta untuk perjalanan saya yang harganya di atas 150 ribuan semua.

Ditambah lagi, ongkos ojek dari stasiun ke lokasi asrama yang nggak kalah mahalnya (jauh, bro).

Demi mengurangi risiko kenapa-napa di jalan, saya melakukan beberapa perbaikan pada motor saya.

Mengecek kondisi mesin, sistem kelistrikan, dan kelengkapan seperti spion dan surat-surat itu wajib dilakukan.

Tak lupa, pastikan kondisi fisik dan kondisi dompet juga harus dalam keadaan prima.

Setelah merasa semuanya beres dan aman, saya berangkat sore harinya. Kalau tidak salah waktu menunjukkan sekitar jam 05.30 sore.

Bismillahirrahmanirrahim.

Tanpa pengetahuan tentang rute jalan yang harus dilalui, saya meninggalkan kota Purwokerto.

Hanya mengandalkan feeling, Google Maps, dan mulut untuk bertanya.

Karena saya mengendarai motor yang sudah cukup berumur, maka tidak bisa saya paksakan untuk sampai tujuan dalam sekali jalan.

Paling tidak harus mengistirahatkan mesin tiap tiga sampai empat jam sekali.

Lalu, saya membagi rute menjadi empat etape:

  1. Purwokerto-Kebumen,
  2. Kebumen-Jogja,
  3. Jogja-Solo,
  4. dan Solo-Magetan.

Etape 1: Purwokerto-Kebumen

Sebetulnya saya sudah sangat hapal jalan kalau cuma ke Kebumen. Yaaa.. terhitung sering lah kalau main-main ke pantainya.

Saya tidak menemukan kendala yang berarti sepanjang perjalanan melewati jalur ini. Paling cuma lapar aja.

Begitu sampai di Sumpiuh, saya berhenti sejenak untuk solat dan makan, istirahat sebentar, lalu gas lagi.

Gas LPG
Gas terus

Dari Sumpiuh (Banyumas), perjalanan berlanjut ke Kebumen melewati kecamatan Tambak, Gombong dan Sruweng.

Karena waktu itu hari sudah gelap, saya tidak bisa mengenal persis penampakan jalannya.

Mungkin karena saya biasanya lewat siang hari. Kadang kalo malem jadi beda.

Jadi saya ngikutin bus-bus tujuan Jogja aja.

Etape 2: Kebumen-Jogja

Alternatif jalur untuk menuju Yogyakarta ada dua: lewat Kutoarjo, atau lewat Purworejo.

Karena hari sudah cukup larut dan jalanan sepi, saya memutuskan untuk lewat jalur Daendels, yang kalau di peta cuma lurus saja dari Kebumen sampai Wates.

Jalan Daendels
Jalan Daendels pada siang hari, pas malam nggak sempat foto

Sesampainya di daerah Kutoarjo, sinyal mendadak hilang. Memang sepertinya bukan di daerah kota, jadi saya pikir wajarlah.

Dengan sok tahu tingkat tinggi saya ngikutin jalan aja.

Penerangan jalan sudah tidak ada. Kendaraan yang lewatpun mulai sepi. Lama-kelamaan saya cuma sendiri. Jauh di depan dan belakang tak ada lampu kendaraan yang terlihat.

Malam makin gelap. Udara makin dingin. Gerimis pula.

Duh, ngiyup di mana ini, batin saya. Rumah penduduk juga nggak ada. Di situ kadang saya merasa mbuh.

Singkat kata, sampailah saya di jalan yang lurus. Tapi bukan sirotol mustaqim.

Melainkan Jalan Daendels. Jalannya memang cuma lurus aja sejauh berkilometer-kilometer.

Agak jauh di sebelah kanan ada Samudera Hindia, di sebelah kiri ada jajaran perbukitan kapur, ada beberapa rumah warga meski jarang-jarang.

Jalannya lurus, gelap, masih tidak ada penerangan, dan banyak serangga.

Beberapa ada yang masuk ke mulut, beberapa masuk lubang hidung, dan beberapa mati nabrak visor helm.

Saya nggak tahu serangga apa itu. Mungkin nyamuk, mungkin juga belalang.

Serangga mati nabrak mobil
Kurang lebih seperti ini ilustrasinya…

Perlahan tapi pasti, jalanan mulai terang pertanda ada peradaban manusia.

Waktu itu pukul 23.00, posisi saya sudah sampai di ujung Jalan Daendels, tepatnya di Kulonprogo memasuki daerah Wates.

Saya berhenti sejenak di sebuah SPBU untuk sekadar ngisi bensin dan leyeh-leyeh.

Saya menghubungi Mas Irsyad, kawan lama saya yang juga alumni SDIT Badrussalam.

Saya bertanya apakah belio masih di Wates, kalau iya, saya mau mampir.

Setelah mendapat jawaban, ternyata blio sudah tidak di Wates, lalu saya melanjutkan perjalanan lagi.

Jam menunjukkan pukul 24.30 malam.

Dari Wates, saya langsung menuju Yogyakarta, tepatnya ke Jalan Malioboro.

Agak melenceng dari rute yang sudah ditentukan sih sebetulnya.

Terus ngapain?

Ngga ngapa-ngapain sih, biar afdol aja. Hahaha.

Sekalian pengin nyari minuman anget, kapan lagi motor butut ini nyasar ke Malioboro. Jarang-jarang, kan.

Jalan Malioboro
Nyasar

Sesampainya di Yogyakarta, yang saya cari pertama adalah jahe susu.

Beruntung, masih ada beberapa angkringan yang buka jam segitu.

Sambil istirahat dan ngobrol-ngobrol sama bapak penjualnya, sekaligus numpang nge-charge hape. Maklum ngga punya powerbank.

Etape 3: Jogja-Solo

Malam telah berlalu, hari juga sudah berganti baru.

Tanggal 19 Agustus, pukul 03.00 pagi, saya melanjutkan perjalanan ke arah Solo.

Tugu Jogja
Tugu Pal Putih

Dari jalan Malioboro, karena waktu itu masih dini hari, saya melawan arah melewati Mangkubumi menuju Tugu Yogyakarta, lalu belok kanan menuju Solo via jalan raya Jogja-Solo.

Jalanan masih sepi, tidak ada kendaraan lain selain truk dan bus. Sesekali lewat mobil pribadi.

Memasuki kota Solo, fajar mulai menyingsing.

Jam 04.30, saya berhenti sejenak untuk subuhan dan jalan kaki di sekitar masjid untuk mencari sarapan.

UNS Solo
Solo

Suhu udara masih membuat rahang gemetar.

Dengan kecepatan standar, motor saya melaju melewati batas kecamatan demi kecamatan sampai akhirnya bertemu pada dua pilihan jalur: Lewat Ngawi, atau lewat Tawangmangu.

Hanya karena berpikir jalur Tawangmangu jaraknya lebih pendek (asumsi saya akan lebih cepat), maka saya memutuskan lewat Tawangmangu.

Gerbang Tawangmangu
Memasuki Tawangmangu

Berbeda dengan lewat jalur Ngawi yang mengitari gunung Lawu, jalur Tawangmangu ini menanjak gunung sehingga lebih pendek.

Setidaknya, begitu yang saya lihat di Google Maps.

Saya sampai sering kali berhenti untuk memastikan jalan yang saya lewati sudah benar.

Etape 4: Solo-Magetan

Namun, lagi-lagi saya salah.

Bukannya waktu perjalanan yang lebih cepat, malah justru lebih lambat sekali.

Jelas lah, selama perjalanan, mulai dari Karanganyar sampai turun di Magetan, mata saya disuguhi pemandangan yang luar biasa indah.

Membuat saya yang norak ini berhenti berkali-kali demi memandanginya lebih lama.

Saya memang pernah tinggal di Magetan, nenek saya juga di sini, tapi saya belum pernah lewat jalur Tawangmangu sebelumnya.

jalur gunung lawu
Keliatan terik, tapi ini dingin banget

Jam 07.30, saya tidak tahu sudah sampai di mana. Yang jelas, masih belum masuk wilayah Magetan.

Matahari waktu itu sudah sangat terik, tapi suhu udara sangat sangat sangat dingin. Saya hampir menyerah karena saking dinginnya.

Tapi rasa penasaran ini terus membawa saya maju untuk ingin merasa takjub lagi.

Sampai di Magetan

Matahari kian tinggi. Saya juga naik makin tinggi dan mulai memasuki wilayah sisi gunung yang lain.

Sinar matahari di sini tertutup bayangan pohon yang tinggi-tinggi, semakin menambah dingin tubuh saya yang sedari tadi sudah menggigil.

Jari-jemari mulai mati rasa.

cemorosewu magetan
Memasuki Magetan

Sepanjang jalan yang saya lihat banyak sekali warung tapi semuanya tutup.

Hanya sedikit yang berjualan. Mungkin hanya sekitar 1 dari 10 saja.

Sementara saya tak kuasa untuk menarik tuas gas lebih cepat lagi karena saking dinginnya.

Akhirnya saya melaju dengan pelan, sangat pelan.

Jalur gunung lawu
Salah satu spot dengan suhu terendah dan pemandangan terindah

Beberapa kali saya berhenti sejenak untuk menghangatkan badan dengan cara mendekatkan diri pada knalpot.

Baru kali ini saya naik motor melewati gunung.

Saya memang belum pernah naik gunung pakai kaos My Trip My Adventure kayak orang-orang.

Karena tahu di atas sana pasti lebih dingin lagi. Saya nggak kuat dingin, btw.

Tidak lama kemudian, saya sampai dan singgah pada sebuah warung yang buka di dekat Telaga Wahyu dan membeli teh anget sekaligus Indomie rebus di sana.

Inilah 1 dari 10 warung yang buka itu.

Tidak terbayangkan sebelumnya dalam pikiran saya bahwa rupanya di warung tersebut tersedia colokan listrik dan Wi-Fi.

Siapa yang bakal menduga?

Rezeki memang datang dari arah yang tidak disangka-sangka.

Telaga Wahyu
Telaga Wahyu

Usai menghangatkan badan dengan teh anget yang sekejap langsung dingin setelah dihidangkan, saya meneruskan perjalanan lagi.

Kali ini jalanannya menurun. Kabupaten Magetan sudah terlihat dari atas.

Saya sudah mulai mengenali beberapa spot di kanan-kiri jalan. Beberapa masih sama seperti dulu, beberapa sudah banyak berubah.

Halo, kampung halaman!

Avatar photo

When in doubt, slow down.

Leave a Comment